OLEH: JOHN HOLT
Setahun yang lalu, saya ingin tahu bagaimana ketakutan anak dapat mempengaruhi strategi-strateginya. Pekerjaanku tahun ini telah memberikan jawabannya. Pada umumnya, strategi dari sebagian besar anak-anak ini secara konsisten berpusat pada diri sendiri, bersifat melindungi diri sendiri, dan dalam kondisi apa pun akan ditujukan untuk menghindari gangguan, rasa malu, hukuman, penolakan, atau kehilangan status. Ini berlaku terutama pada mereka yang mengalami masa-masa sulit disekolah.
Ketika mereka mendapatkan giliran mengerjakan soal, saya seakan-akan dapat mendengar mereka berkata, "Apakah saya akan dapat menjawab dengan benar? Mungkin tidak; apa yang akan terjadi pada saya jika saya mendapat jawaban yang salah? Akankah guru saya marah? Akankah anak-anak yang lain akan menertawakan saya? Akankah ibu dan ayak saya mendengar tentang itu? Akankah saya tinggal kelas tahun ini? Mengapa saya begitu bodoh?" dan seterusnya.
Bahkan selama berada dalam kelas-kelas khusus, ketika saya bermaksud mengusahakan semampu saya untuk membuat tugas tidak terlalu mengancam, saya terus-menerus dibuat heran dan bingung melihat anak-anak menyimpan pilihan jawaban mereka dengan maksud menghindari kesalahan di awal, berusaha memperbaiki berbagai hal sehingga apa pun yang terjadi mereka bisa merasakan bahwa mereka benar atau, jika salah, tidak lebih salah dibandingkan yang lainnya. Mereka takut menetapkan komitmen pada satu pilihan tertentu bahkan pada usia yang baru 10 tahun. Memainkan permainan seperti Twenty Questios, yang mungkin sudah ditunggu-tunggu untuk hanya bersenang-senang, banyak dari mereka hanya mementingkan terlihat hebat seakan-akan mereka tahu apa yang mereka lakukan.
Strategi membatasi terjadi karena rasa takut. Telah lama saya sendiri ini kebanyakan terjadi karena rasa takut. Telah lama saya bertanya-tanya, mengapa anak-anak yang cerdas malah bersikap tidak cerdas di sekolah. Jawaban yang sederhana adalah, " Karena mereka takut." Dulunya saya menyangka bahwa sikap melemahkan diri sendiri ini ada hubungannya dengan prestasi mereka yang jelek di sekolah, tetapi saya pikir saya bisa mengatasinya dengan berkata "Cobalah! Kamu dapat melakukannya!" Apa yang saya sekarang lihat untuk pertama kalinya adalah suatu mekanisme, dimana ketakutan menghancurkan kecerdasan, dan bagaimana hal itu memengaruhi seorang anak dalam caranya memperhatikan, berpikir tentang, dan berhadapan dengan kehidupan. Maka, kita mempunyai dan permasalahn, bukan hanya satu: Bagaimana cara menghasilkan rasa takut pada anak-anak, kemudian bagaimana menghilangkan kebiasaan berpikir buruk yang timbul dari rasa takut itu.
Hal yang paling mengejutkan adalah betapa besar ketakutan itu ada di sekolah. Mengapa sangat sedikit berita yang beredar tentang itu? Barangkali, kebanyakan orang tidak mengenali ketakutan pada anak-anak ketika mereka melihatnya. Mereka dapat membaca tanda-tanda yang paling kasar dari ketakutan; mereka mengetahui masalah apa yang terjadi ketika seorang anak memeluk ibunya dengan erat; tetapi tanda-tanda ketakutan yang lebih halus lolos dari perhatian mereka. Tanda-tanda ini ada pada wajah, suara-suara, isyarat-isyarat, gerakan-gerakan, dan cara kerja anak-anak; kesemuanya memberitahuku dengan jelas bahwa kebanyakan anak-anak disekolah merasa takut sepanjang waktu, banyak diantara mereka bahkan merasa sangat takut. Seperti prajurit yang baik, mereka mengendalikan ketakutan-ketakutan mereka, belajar untuk hidup dalam ketakutan itu, dan melakukan penyesuaian diri dengan ketakutan tersebut. Tetapi, masalahnya adalah, yang juga membedakan antara sekolah dan perang, bahwa penyesuaian-peyesuaian yang mereka buat atas ketakutan-ketakutan mereka ternyata hampir sepenuhnya tidak baik serta bersifat merusak kecerdasan dan kemampuan berpikir mereka. Prajurit yang ketakutan mungkin dapat menjadi prajurit yang baik, tetapi pembelajar yang ketakutan akan selalu menjadi pembelajar yang payah.
Tweet |
Yuk coba keberuntugan anda
ReplyDeletedi permainan tebak angka
TOGEL dan DD48 redblue LIVE
www.togelpelangi.com